CERITA DEWASA PENARI JALANAN BERISI MENJUAL DIRI

CERITA DEWASA PENARI JALANAN BERISI MENJUAL DIRI


CERITA DEWASA PENARI JALANAN BERISI MENJUAL DIRI, Hasrat-Bispak46 Seluruh orang didalamnya harus bertarung serta berkorban agar tak tersisih, dan tidak semuanya jalan yang dapat dilintasi itu terang-benderang…Izinkan saya bercerita cerita hidup saya. Nama saya Darmini, tetapi orang tidak banyak yang kenal nama asli saya. Bapak serta Simbok panggil saya Denok, itu panggilan biasa untuk anak wanita di daerah saya, tetapi maknanya gak hanya itu. Denok pula bermakna montok alias sintal, serta ternyata makna itu yang lebih dikenang beberapa orang di kehidupan saya di Ibu-kota. Periode kecil saya dihabiskan di daerah, jauh dari Ibu-kota. Saya anak satu satunya Bapak serta Simbok, satu keluarga petani penggarap yang gak berpunya. Mulai sejak kecil saya diajari menari oleh Simbok, lantaran beliau sendiri waktu muda yakni seorang penari, dan kerapkali ditanggap bila ada acara di daerah. Sayang, kehidupan kami yang damai di daerah berhenti sewaktu satu hari saya serta Simbok menemukan Bapak menggantung diri. Nyatanya Bapak miliki banyak hutang karena sebab hilang ingatan judi, serta beliau tak bisa membayar hutangnya itu. Kami terang sendu lantaran Bapak sudah tak ada, tetapi juga kebingungan sebab beberapa waktu seusai Bapak dikebumikan, kami ditendang dari rumah lantaran rumah kami diambil alih agen judi yang memberikan hutang ke Bapak. Kami tidak punyai tujuan, dan uang simpanan kami tidak berapa. Simbok pada akhirnya ngotot membawa saya berpindah ke Ibu-kota cari penghidupan.


"Denok, kita nggak dapat apapun kembali di sini, di kota kita bisa mencoba mencari uang, moga-moga di situ mendingan ketimbang di sini," kata Simbok.


Saya cuman alumnus SMP, Simbok alumnus SD. Kami sama tidak sadar hidup di Ibu-kota demikian beratnya. Melamar pekerjaan ke sana-kemari, gak diterima lantaran dirasa pengajaran kurang tinggi. Mencari kerja yang gak perlu ijazah, lawan sangat banyak. Pada akhirnya selesai lumayan lama menyimak beberapa peluang yang ada, Simbok menetapkan untuk menggunakan ketrampilan kami. Hanya modal busana serta perabotan yang kami membawa dari daerah, dan radio tape sisa serta kaset-kaset musik tradisionil yang kami membeli dari pasar loak dengan tersisa uang, mulai kami berdua jadi penari jalanan.


Waktu gadis-gadis seumur saya yang di kota lagi bersiap ujian akhir SMA atau melalui tahun awal kuliah, dan yang di kampung menanti dijodohkan oleh orangtuanya, saya mengawali jalani kehidupan anyar, menawarkan keterampilan seni tari bersama Simbok. Sebelumnya kami berkeliling-keliling Ibu-kota, sebatas cari keramaian di mana kami dapat mendapat sekian lembar rupiah buat melanjutkan hidup. Kami biasa mulai pagi-pagi, mengkaji jalanan Ibu-kota untuk cari beberapa orang yang pengin kami hibur dengan tarian kami. Rupanya gak mudah  cari uang lewat langkah sebagai berikut, paling-paling yang kami temukan hanya untuk makan kami berdua, satu atau 2x di hari itu. Dan tidak di seluruhnya tempat kami dapat mendapatkan pirsawan yang mau bayar, terkadang kami justru ditendang atau dihardik. Selesai lumayan lama, kami berjumpa tempat di mana kami dapat selalu bisa pemirsa serta uang: satu pasar induk yang lumayan besar, dan lingkungan disekelilingnya. Kami lantas sewa satu kamar kontrak murah di dekat Pasar. Banyak orang-orang di Pasar, yang dari kelompok menengah ke bawah, haus selingan murah yang dapat buat mereka ingat daerah semasing. Hadirnya kami di situ terus disongsong senyuman, tawa, dan helai-lembar uang yang kumal hasil perasan keringat mereka. Kendati kerapkali helai-lembar itu dikasihkan ke kami kurang santun contohnya dengan disembunyikan ke kemeja kami. Apa saya dan Simbok memanglah memikat? Tidak tahu ya. Saya sendiri tidak terasa elok. Jadi anak petani yang kerap main di luar mulai sejak kecil, kulit saya jadi rada gelap terbakar matahari. Namun Simbok pula dari dahulu selalu mengarahkan serta memperingatkan saya untuk menjaga badan meskipun melalui cara simple, jadi kendati sawo masak, kulit saya terus mulus dan tak jerawatan manalagi bopeng-bopeng lho.


Oh iya, barusan kan saya telah narasi makna nama panggilan saya, Denok. Dipikirkan betul pun sich bila di sebut saya montok. Tak tahu mengapa, kendati rasanya dari kecil makanan saya bergizi ngepres, kok tetap tubuh saya dapat saja ya. Saat sebelum remaja saja tetek saya telah tumbuh, dan saat ini jadi subur gumebyur hingga saya terus takut dengan kemben saya setiap kali menari. Pantat saya  kuat dikarenakan dibikin latihan olah badan dalam tarian. Ada yang katakan bahenol, saya sich matur nuwun saja jika ada yang menganggapnya demikian. Terherannya, meskipun atas bawah besar, tengahnya tidak turut besar, perut serta pinggang saya masih singset. Saya menganggapnya masih singset masalahnya kelihatannya kelak tubuh saya bakal jadi seperti tubuh Simbok, tengahnya mulai ikut-ikutan lebar. Nach, kalaupun Simbok itu benar-benar elok. Sampai usia begitu lantas beliau masih elok. cerpensex.com Manalagi jika sudah gunakan sanggul serta dandan, wuihh. Seluruhnya orang nengok dan gak tonton apapun kembali. Saya sendiri selalu terasa tidak baik lho kalaupun tampil bersama Simbok. Ah, namun sedunia hanya saya sendiri yang nganggap muka saya buruk. Kecuali Simbok, beberapa orang yang umum melihat kami menari kok segalanya ngomong saya elok. Saya berpikir, ini mah pinter-pinternya Simbok menghias saya saja. Waktu pertama didandani buat ngamen, saya protes, kok ribet benar-benar. Rambut harus disasak, disanggul, disunggar, gunakan tusuk dan kembang. Muka perlu dibedaki tebal-tebal, hingga lain warna dengan tubuh. Barangkali tinggal tahi lalat di pipi saya saja yang gak ketutupan. Alis saya yang telah tebal dibuat makin tebal. Bibir  diberi gincu warna merah keren. Saya saat itu ngeluh, WAJIB 4D


"Kok telah seperti penganten saja, Mbok."


Simbok menjawab, "Yang bernama penari itu gak bisa biasa saja, nduk. Perlu kinclong, manglingi. Kita perlu buat puas yang melihat."


Lama-kelamaan saya biasa pun memanfaatkan dandanan sesuai itu, justru saya bikin jadi guyonan sama Simbok.


"Mbok, saya wis tiap hari tercipta penganten, nanti bila nikah betulan harus seperti apakah diriasnya?" Dandan muka yang tebal jadi sisi seragam kerja saya, persis seperti kemben, kain batik, serta selendang. 


Namun benar-benar yang bernama nasib itu jalannya gak ada yang ketahui. 2 bulan kami bertempat di dekat Pasar, malapetaka ada kembali. Waktu lagi nyebrang jalan, Simbok ketabrak mobil. Cidera kritis. Saya was-was, beberapa orang di kitaran beramai-ramai ngangkut Simbok ke rumah sakit. Namun Simbok tidak terbantu. Simbok mati di rumah sakit sesudah 2 hari dua malam usaha ditolong dokter di situ. Sesungguhnya semenjak ketabrak pula Simbok sudah tidak ada angan-angan, namun entahlah mengapa beliau lama sekali wafatnya. Sekaratnya hingga sampai sepanjang hari. Hingga gak sampai hati saya menyaksikannya. Masa itu ada yang bisik-bisik, barangkali Simbok pasang susuk, sebab itu wafatnya sulit. Orang kok sampai hati ya bicara semacam itu. Namun apa itu betul atau tidak, saya tidak mau tahu, biarkan itu dapat menjadi rahasia Simbok. Saya pada akhirnya sendirian di Ibu-kota, seperginya Simbok. Ditambahkan lagi, uang habis buat mbayar rumah sakit serta penyemayaman, malahan harus berutang kemanapun. Saya gak dapat melangsungkan acara jenis-jenis buat Simbok, cuma dapat doakan sendiri mudah-mudahan sukma Simbok dapat tenang di alam sana serta berjumpa kembali dengan Bapak. 1 minggu lebih saya di sewaan saja karena sangat bersusah-hati. Barangkali setiap hari saya menangis, bersusah-hati ingat Simbok, pula kesepian. Pada akhirnya saya memaksakan diri buat keluar kembali, ngamen kembali, karena uang telah habis serta saya pula harus lawan beberapa tukang tagih hutang yang tak mau tahu kesusahan saya . Sehingga, 1 minggu setelah Simbok disemayamkan, saya kembali bersiap buat keluar, menari. Didepan cermin saya tata rambut saya sendiri, saya pasang sanggul dan kembang, saya bedaki muka saya supaya gak nampak sejumlah bekas menangis, saya gunakan kembali kemben serta kain, saya sampirkan selendang di leher. Ealah, cocok keluar kamar saya malahan bertemu dengan ibu yang mempunyai sewa. Sang ibu tidak pakai basa-basi langsung tagih tunggakan dua bulan. Saya tidak miliki uang, jadi saya hanya dapat katakan maaf, dan sang ibu justru ngancam secara lembut. Gak apapun tidak bayar, tuturnya, tetapi esok kamu keluar tempat saya. Haduh biyung, kok tidak habis-habis ya rintangan untuk saya. Saya pengen usaha dahulu, kata saya, kelak dapat saya bayar. Hari itu saya pergi ngamen, usaha mencari uang buat hidup.


CERITA DEWASA PENARI JALANAN BERISI MENJUAL DIRI


Apesnya, hari itu pasar rada sepi, serta setelah dua jam saya baru bisa Rp5000 sehabis menari di pangkalan ojek. Saya gak dapat fokus, kepala banyak pemikiran, bagaimana metodenya biar kelak kalaupun pulang sudah mempunyai cukup uang untuk bayar sewaan. Belum beberapa utang yang lain. Mendekati siang, saya tengah jalan di barisan beberapa toko besar dari sisi Pasar. Dan di muka toko beras terbesar di Pasar, saya lihat Juragan lagi mengalkulasi segepok uang. Beliau barusan terima banyak uang, ternyata ada orang yang habis mborong. Saya saat itu sekedar mengenal beliau menjadi ‘Juragan'. Beliau pemilik toko beras yang besar itu. Beliau udah tua, lebih tua ketimbang Simbok, barangkali umurnya telah 50 atau 60 tahun. Kepalanya nyaris botak, rambutnya tipis beruban, kumis dan jenggotnya jarang. Tubuhnya besar serta perutnya gemuk. Sekali kedua kalinya saya dan Simbok pernah menari di muka tokonya, dan pegawai-pegawainya memberikan kami uang tetapi beliau tidak. Tetapi beliau pernah pinjamkan uang pada Simbok, serta Simbok sempat mengembalikannya. Saya beranikan diri mendatangi Juragan. Ia sendirian di muka toko, sementara anak buahnya repot dalam dan ada di belakang. Tokonya lagi sepi, tak ada konsumen.


"Juragan," pinta saya. "Anu… saya…"


Juragan menyaksikan saya dengan acuh. "Ada apakah, Denok?"


"…saya… saya…" Duh, saya gak kuat bilangnya. Tetapi saya harus katakan. "…saya bisa pinjam uang, Juragan? Uang saya telah habis buat ongkos penyemayaman Simbok… saat ini saya harus bayar sewa dua bulan…"


"Hah?" Juragan memandang saya dengan aneh, "Kamu penting uang?"


"Tolong, Juragan," saya mengharap kembali, "Saya udah ditagih, ini hari mesti ada, atau saya ditendang. Saya janji dapat balikkan secepat-cepatnya."


Eh, kok Juragan langsung kantongi segepok uang barusan ia hitung-hitung.


"Denok," kata beliau dengan dingin, "Saya ini pedagang, bukan tukang memberikan hutang. Kamu perlu uang? Kerja sana. Atau kamu berjualan saja." WAJIB 4D


"Saya saat ini pun kembali kerja, Juragan," saya geram namun tak berani menunjukkan; kelihatannya Juragan tak ingin pinjamkan uang. "Hanya seramnya saya tak dapat dapat uang ini hari untuk bayar kontrak. Kalaupun berjualan, saya tidak punyai apapun, perlu jual apa?"


Namun terus tatapan Juragan kok beralih jadi aneh… Beliau dekati saya serta merengkuh saya. Tangannya yang besar itu menggenggam pundak saya.


"Siapa omong kamu gak mempunyai apapun?" bisiknya. "Tubuh kamu bagus, Denok. Saya pengen kok mbayar buat itu." Beliau tarik badan saya merapat ke tubuhnya, hingga sampai pipi saya menempel dari sisi dadanya yang gendut.


"Ihh?!" saya terkejut dengar bisikan Juragan itu. Duh, inikah yang bernama bisikan iblis? "Tubuh… saya?" Bisikan Juragan lagi terngiang di kepala saya. Bergidik bulu-bulu kuduk saya mengandaikan apa artinya itu.


"Bila kamu ingin, Denok, saya lunasi bill kontrakanmu yang 2 bulan itu sekaligus mbayar buat bulan depannya," bisik Juragan kembali.


Duh, biyung, saya perlu bagaimana? Saya penting uang, tetapi apa perlu lewat cara sebagai berikut? Tetapi bila gak, bagaimana kembali? Yang ada saya akan ditendang, nggelandang, dan…ujung-ujungnya sama juga. Saya gak miliki alternatif lain…


"…mau, Juragan…" saya berbisik, lirih sekali hingga sampai tidak terdengaran. Kalaupun saja tidak ketutupan bedak, barangkali udah tampak muka saya berbeda merah seperti cabai.


Juragan tertawa, tubuhnya yang gemuk itu hingga tergoyang-guncang. "Bagus, Denok. Mari turut saya. Kamu ikutin saja kataku, kelak kubayar kamu, ya?"


Lantai atas toko beras itu rumah Juragan. Juragan bawa saya naik tangga dari sisi toko, masuk ke tempat tinggalnya. Juragan nyatanya tinggal sendirian. Saya ingin tahu, apa Juragan gak mempunyai istri? Kami masuk rumah Juragan. Saya terus melihati lantai, tak berani mengusung kepala, tetapi kadang-kadang saya ngintip ke sana-kemari menyaksikan situasi.


Juragan ternyata tinggal sendirian di atas tokonya. Ada photo tua yang memberikan Juragan dengan seorang wanita—istrinya kah? Juragan menggamit tangan saya masuk ke satu kamar. Ruang tidurnya. Ia suruh saya duduk di dipan. Saya duduk, sekalian tundukkan kepala. Juragan berdiri di muka saya, mengawasi sekujur badan saya. Ia sentuh dagu saya, sembari omong,


"Denok, angkat kepalamu, saksikan saya." Saya nurut. Kemungkinan ia saksikan mata saya ketakutan 1/2 mati.


"Membuka kembenmu," ucapnya.


Ia letakkan selembar uang Rp50.000 dari sisi saya. Saya melihat, lihat uang itu. Besar sekali untuk saya. Kebanyakan sepanjang hari menari saya tidak pernah mendapat uang sejumlah itu. Tetapi saya selalu ragu-ragu. Juragan mendadak ingin ambil kembali uang itu.


"Bila tak mau ya udah," tukasnya dengan suara kurang puas.


Tetapi saya tahan uang itu dengan tangan saya, lalu saya ngangguk. Haduh, Simbok, Bapak, maafkan saya. Saya terlepas ikatan kemben di punggung saya, lalu perlahan-lahan saya urai belitan kain kemben merah yang membebat tubuh saya. Sesuai tinggal selembar belitan yang tutup tetek saya, saya jadi malu, dan saya tahan selembar itu dengan lengan saya. Juragan tersenyum lihat saya.


"Wahh…susu kamu besar, ya? Membikin orang hasrat ajah…" saya tonton Juragan nyengir lebar selesai bicara itu. sumpah, baru kesempatan ini ada laki laki jujur ngaku sesuai itu.


Helai uang lima puluh ribu tadi ditempatkan Juragan di samping saya ia mengambil, lipat, lalu ia berikan ke… aduh! Ia berikan ke belahan dada saya!


"Itu untuk kamu, Denok," ujarnya. Duh, gak yakin rasanya. Awal kalinya saya serta Simbok harus menari sepanjang hari, hingga sampai pegal-pegal, buat mendapat duit kurang dari 5 puluh ribu. Tapi… saat ini saya memperoleh uang sejumlah itu … kok mudah sekali?


"Betulan buat saya…?" Tetap tidak yakin, saya bertanya kembali.


"Iya… asal kamu membuka semua," kata Juragan sembari menyeringai. "Tubuh kamu bagus, Denok. Montok… bahenol…"


Duh, apa tujuannya itu? Apa Juragan sukai dengan badan saya? Seumur-umur belum sempat ada orang yang ngomong itu ke saya… Jantung saya deg-degan mendengarkannya. Juragan menarik kain kemben yang ditahan tangan saya, serta kainnya melaju demikian saja tanpa ada saya tahan. Saya masih tutupi gunung kembar saya dengan ke-2  tangan. Aduh… malu sekali rasanya, telanjang di muka orang lain…Tapi saya dapat beroleh uang…


"Nach, Denok, saat ini membuka kainnya, ya?" saat ini Juragan mohon saya membuka  kain batik coklat yang saya gunakan.


Karena kemungkinan barusan saya malu serta pelan satu waktu membuka kemben, Juragan dekati saya serta mengungkap kain batik saya. Saya seketika mundur, tetapi tangan Juragan lalu menggenggam bahu saya.


"Tidak boleh takut, Denok…" tukasnya.


Juragan  menggenggam paha saya masih beberapa tertutup kain batik. Ia remas sedikit paha saya. Suara "Eihh" keluar mulut saya, malu karena sentuhan Juragan. Tangannya terus nyelip ke bawah kain saya! Kulit tangan Juragan bersinggungan dengan kulit paha saya, serta saya tambah deg-degan. Ia lagi remas-remas paha saya. Saya nggigit bibir, takut keluar nada beberapa macam dari mulut saya. Tangan satunya terus nyibak kain saya, sampai ke dekat pinggang… Duh, biyung, sedang diapakan saya ini? Kain saya tinggal nyangkut di pinggang saja, sementara ke-2  kaki, betis, dengkul, sampai paha saya udah dikeluarkan dari balutnya, sedikit kembali kancut saya nampak!


"Rebah saja, Denok!" suruh Juragan.


Saya nuruti perintahnya, perlahan-lahan saya rebahkan tubuh atas saya. Ke-2  tangan saya selalu nutupi sepasang tetek saya. Sanggul yang masih belum saya lepas (apa harusnya saya lepas pun?) ngganjal belakang kepala saya. Dan sekalian saya tiduran itu, tangan Juragan berlaga sangkutan paling akhir kain saya di pinggang. Aduhhh biyung. Ke-2  tangan saya untuk pekerjaan: satu membentang di muka dada, satu turun ke bawah nutupi kancut saya.


Saya ragu, tetapi tidak tahu mengapa, saya pun kok rasa hasrat saya bangun? Aduh? Kok seperti ini jadi? Juragan tak henti memandang sekujur badan saya, sembari memberikan pujian.


"Marilah donk, gak mesti tertutupin," kata Juragan. "Tanganmu disingkirin donk? Denok, bila kamu pengin kupegang, kutambah dua puluh ribu, ya…


Ke-2  tangan saya digenggam Juragan, lalu perlahan-lahan ditempatkan dari sisi tubuh saya. Duh, bubar dech pertahanan saya. Saat ini susu saya gak ada kembali yang tutupi. Saat ini kancut saya tampak.


"Euh… Juragan… ingin pegang?" kata saya kebingungan. "Ja… jadi saat ini tujuh puluh ribu?"




BERSAMBUNG....

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama